Di bidang pertanian di hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan berupa bagian pohon/tumbuhan sisa hasil pemanenan hutan. Limbah ini sebagian masih layak dimanfaatkan seperti untuk arang maupun produk-produk olahan yang lain berupa balok atau papan. Sedangkan ranting-ranting dan serasah seringkali diabaikan pemanfaatannya, padahal bagian-bagian ini masih dapat dimanfaatkan khususnya dalam upaya konservasi tanah dan air dengan menerapkan teknik mulsa vertikal. Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan, baik yang berasal dari serasah gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan. Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Secara ekologis teknik ini terbukti dapat menurunkan laju aliran permukaan, erosi, dan kehilangan unsur hara. Namun demikian konsekuensinya adalah diperlukan biaya dalam penerapan teknik ini.
TEKNIK MULSA VERTIKAL
Konservasi tanah dan air merupakan upaya menempatkan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 1986). Salah satu teknik konservasi tanah dan air adalah teknik mulsa vertikal. Teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Pratiwi, 2005). Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan.
A. Penempatan Saluran
Teknik mulsa vertikal dapat dilakukan di lahan yang baru dibuka dengan tanaman sampai berumur 3 tahun maupun di hutan tanaman dengan tanaman utama yang telah membentuk tajuk (Pratiwi 2000 dan 2001). Perbedaannya adalah, di lahan yang baru dibuka mulsa vertikal ditempatkan pada saluran dengan jarak antara 5-6 meter pada lahan dengan kelerengan >15o atau dengan jarak antara saluran 10-20 meter pada lahan dengan kelerengan <15o (Tabel 1). Sedangkan di hutan tanaman, mulsa vertikal ditempatkan di bagian hilir individu tanaman (Gambar 1 dan 2).
B. Pembuatan Saluran
Pembuatan saluran dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Saluran ditempatkan di antara pohon dengan jarak 10-20 m (kelerengan < 15o) atau 5- 6 meter (kelerengan >15o) (untuk areal baru dibuka) atau di bagian hilir individu tanaman (jika tanaman telah bertajuk).
2. Tanah digali pada jalur saluran tersebut dengan kedalaman 40-80 cm dan lebar 20-100 cm, tergantung jumlah limbah yang tersedia.
3. Tanah hasil galian dibuat guludan di bagian hulu di sepanjang saluran (jika
kemiringan lahan > 15o) atau diletakkan di bagian hilir di sepanjang saluran
(jika kemiringan < 15o).
4. Limbah dimasukan ke dalam saluran yang telah dibuat tersebut.
C. Bahan dan biaya yang diperlukan
Dari segi biaya, berdasarkan kebutuhan tenaga yang diperlukan untuk merehabilitasi hutan seluas 1 hektar dengan menggunakan teknik mulsa vertical dengan jarak antara saluran 6 meter adalah sebesar Rp 400.000,-/ha. Sedangkan untuk mulsa vertikal yang diletakkan di bagian hilir individu tanaman diperlukan biaya sebesar Rp 600.000,-/ha. Limbah hutan dalam keadaan basah yang diperlukan untuk penerapan mulsa vertikal dengan jarak antara saluran 6 meter dan mulsa vertikal yang diletakkan di bagian hilir individu tanaman untuk areal seluas 1 ha diperlukan masing-masing 250 kwintal dan 112,5 kwintal.
tulisan ini diambil dari:
http://groups.google.co.id/group/greenlifestyle/about?hl=id diakses pada tanggal 29 oktober 2008 pukul 21.30
Pemanfaatan Limbah Hutan Menjadi Sebuah Produk Mulsa Organik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar