Semua tentang AMDAL










Pengertian dan sejarah AMDAL, AMDAL diperkenalkan pertama kali tahun 1969 oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :
a. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

Tujuan secara umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Dengan demikian AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup. Untuk proses pelaksanaan AMDAL dapat dilihat dibawah ini.

Keterangan :
Pelingkupan adalah proses pemusatan studi pada hal – hal penting yang berkaitan dengan dampak penting.
Kerangka acuan (KA ANDAL) adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup y ang merupakan hasil pelingkupan.
Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.
Prosedur pelaksanaan AMDAL menurut PP. No. 27 th 1999 adalah sebagai berikut.

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

1. Sumber daya alam hayati
Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan alam yang luas dan memiliki sumber daya alam hayati yang beraneka ragam.
Hal ini terjadi karena keadaan alam yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya. Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi merupakan suatu koleksi yang unik dan mempunyai potensi genetik yang besar pula. Namun hutan yang merupakan sumberdaya alam ini telah mengalami banyak perubahan dan sangat rentan terhadap kerusakan. Sebagai salah satu sumber devisa negara, hutan telah dieksploitasi secara besar-besaran untuk diambil kayunya. Ekploitasi ini menyebabkan berkurangnya luasan hutan dengan sangat cepat. Keadaan semakin diperburuk dengan adanya konversi lahan hutan secara besar-besaran untuk lahan pemukiman, perindustrian, pertanian, perkebunan, peternakan serta kebakaran hutan yang selalu terjadi di sepanjang tahun.
Dampak dari eksploitasi ini adalah terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dengan demikian jelas terlihat bahwa fungsi hutan sebagai pengatur tata air telah terganggu dan telah mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada didalamnya.
Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan.
Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 – 2 juta ha per tahun, sedangkan kemampuan Pemerintah dengan Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan hanya mampu merehabilitasi sekitar 3 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun (2003-2007). Apabila kegiatan Gerhan ini berhasil seluruhnya berarti masih tersisa sekitar 5 – 7 juta ha yang perlu direhabilitasi untuk mengimbangi kerusakan hutan yang mencapai 8 – 10 juta ha dalam jangka waktu 5 tahun.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002-2003, khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan tidak ada data 8,52 juta ha (7 %) (BAPLAN, 2005). Ini berarti sebenarnya hanya sekitar 85,96 juta ha yang dapat dikatakan hutan dari kawasan hutan yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan pembangunan kehutanan yang semakin meningkat dapat menimbulkan dampak lingkungan yang mengandung resiko perubahan lingkungan. Perubahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi dasar ekosistem hutan. Hal semacam ini akan menjadi beban sosial, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.
Dampak lingkungan (yaitu perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan) pembangunan kehutanan harus dapat dikendalikan, dalam arti dampak negatif harus dapat ditekan seminimal mungkin, sedangkan dampak positif harus terus dikembangkan. Dengan kata lain, kegiatan pembangunan kehutanan harus berwawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang.

2. Sumber Daya Hutan Indonesia

Hutan hujan tropis yang masih terdapat di bumi ini terkonsentrasi pada tiga wilayah yaitu Amerika Selatan dan Tengah, Afrika Tengah Bagian Barat dan Wilayah Indo-Malaya. Indonesia memiliki hutan hujan tropis paling luas untuk wilayah Indo-Malaya. Dari 187,91 juta hektar luas daratan Indonesia terdapat 133,57 juta hektar kawasan hutan atau lebih kurang 71%. Indonesia, Brazil dan Zaire yang merupakan negara dengan hutan tropis terluas di masing-masing benua, yaitu Asia, Amerika dan Afrika, dikenal sebagai pertahanan terakhir dari hutan hujan tropis dunia.

2.1. Tipe Hutan

Tipe hutan di Indonesia dapat dibedakan dengan melihat faktor utama yang mempengaruhinya, yaitu wilayah, edafik (tanah) dan iklim. Faktor wilayah didasarkan pada letak Indonesia yang berada diantara benua Asia dan Australia, sehingga pengaruh vegetasi dari kedua benua tersebut tampak nyata dari barat ke timur. Oleh karena itu, hutan Indonesia dapat dibedakan ke dalam :
a. Zona barat, yaitu hutan dengan pengaruh kuat vegetasi daratan Asia, meliputi pulau-pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa;
b. Zona peralihan, yaitu hutan dengan pengaruh vegetasi Asia dan Australia sama besar, meliputi pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya;
c. Zona timur, yaitu hutan dengan pengaruh kuat vegetasi Australia, meliputi Irian Jaya, Maluku dan Nusa Tenggara.
Disamping itu, juga terdapat pembagian ekosistem termasuk hutan Indonesia yang lebih mendalam, yaitu berdasarkan Biogeographic region. Menurut pembagian ini, terdapat tujuh wilayah, yaitu (1) Sumatra, (2) Kalimantan, (3) Jawa-Bali, (4) Sulawesi, (5) Nusa Tenggara, (6) Maluku, dan (7) Irian Jaya.
Tipe atau formasi hutan sebagai hasil dari pengaruh faktor edafik dan iklim secara garis besar dapat dibedakan menjadi :
a. Hutan payau (mangrove) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut :
- Tidak terpengaruh iklim;
- Terpengaruh pasang surut,
- Tanah tergenang air laut, tanah lumpur atau pasir, terutama tanah liat;
- Tanah rendah pantai;
- Hutan tidak mempunyai strata tajuk;
- Tinggi pohon dapat mencapai 30 m;
- Tumbuh di pantai merupakan jalur.
b. Hutan rawa (swamp forest) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut :
- Tidak terpengaruh iklim;
- Tanah tergenang air tawar;
- Umumnya terdapat di belakang hutan payau;
- Tanah rendah;
- Tajuk terdiri dari beberapa strata;
- Pohon dapat mencapai tinggi 50 – 60 m;
- Terdapat terutama di Sumatera dan Kalimantan mengikuti sungai-sungai besar.
c. Hutan pantai (coastal forest) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut:
- Tidak terpengaruh iklim;
- Tanah kering (tanah pasir, berbatu karang, lempung);
- Tanah rendah pantai;
- Pohon kadang-kadang ditumbuhi epyphit
- Terdapat terutama di pantai selatan P. Jawa, pantai barat daya Sumatera dan pantai Sulawesi.
d. Hutan Gambut (peat swamp forest) dengan ciri antara lain sebagai berikut:
- Iklim selalu basah;
- Tanah tergenang air gambut, lapisan gambut 1 – 20 m;
- Tanah rendah rata;
- Terdapat di Kalimantan Barat dan Tengah, Sumatera Selatan dan Jambi.
e. Hutan Karangas (heath forest) dengan ciri antara lain sebagai berikut :
- Iklim selalu basah;
- Tanah pasir, podsol;
- Tanah rendah rata; .
- Terdapat di Kalimantan Tengah.
f. Hutan Hujan Tropik (tropical rain forest) dengan ciri umum antara lain sbb:
- Iklim selalu. basah;
- Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah;
- Terdapat di pedalaman yang selanjutnya dapat dibagi lagi menurut keting¬gian daerahnya, yaitu :
(1) hutan hujan bawah, terdapat pada tanah rendah rata atau berbukit dengan ketinggian 2 – 2000 m dpl.;
(2) hutan hujan tengah, terdapat pada dataran tinggi dengan ketinggian 1000 – 3000 m dpl.;
(3) hutan hujan atas, terdapat di daerah pegunungan dengan ketinggian 3000 – 4000 m dpl.;
- Tipe hutan ini terdapat terutama di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya.
g. Hutan musim (monsoon forest) dengan ciri umum antara lain sebagai berikut:
- Iklim musim;
- Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah;
- Terdapat di pedalaman yang sdanjutnya dapat dibagi lagi menurut keting¬gian, yaitu:
(1) hutan musim bawah terdapat pada ketinggian 2 – 1000 m dpl.;
(2) hutan musim tengah atas terdapat pada ketinggian 1000 – 4000 m dpl.;
- Terdapat secara mozaik diantara hutan hujan di Jawa dan Nusa Tenggara.

2.2. Kebijaksanaan Pengelolaan

Dalam rangka mengoptimalkan kelestarian berbagai fungsi hutan maka telah dilakukan berbagai kebijaksanaan yang bersifat antar sektor melalui berbagai aspek pengelolaannya sebagai berikut :

2.2.1. Alokasi Sumber Daya Hutan
Kawasan Hutan di Indonesia yang luasnya 133,57 juta hektar ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi. Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Tata Guna Hutan Kesepakatan merupakan rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dilakukan melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat yang petunjuk pelaksanaannya ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian No. 680/1981.
Penunjukan kawasan hutan mencakup pula kawasan perairan yang menjadi bagian dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Kawasan hutan dibagi kedalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut :
F Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
F Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
F Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi.

Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sislem penyangga kehidupan.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Taman Buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Keadaaan penutupan lahan/vegetasi Indonesia diperoreh dari hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ secara lengkap menggunakan data liputan tahun 2002-2003. Penafsiran untuk penutupan lahan/ vegetasi dibagi kedalam tiga klasifikasi utama yaitu Hutan, Non Hutan dan Tidak ada data, yang kemudian masing-masing diklasifikasikan lagi secara lebih detil menjadi kelas-kelas sebagai berikut :
Klasifikasi Hutan terdiri dari : Hutan lahan kering primer, Hutan lahan kering sekunder, Hutan rawa primer, Hutan rawa sekunder, Hutan mangrove primer, Hutan mangrove sekunder dan Hutan Tanaman
Klasifikasi Non Hutan terdiri dari : Semak/Belukar, Belukar rawa, Pertanian lahan kering campur semak, Perkebunan, Pemukiman, Pertanian lahan kering, Rawa, Savanna, Sawah, Tanah terbuka, Tambak, Transmigrasi, Pertambangan dan Bandara
Klasifikasi Tidak Ada Data terdiri dari : tertutup awan dan tidak ada data.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah :
Hutan : 93,92 juta ha (50 %)
Non hutan : 83,26 juta ha (44 %)
Tidak ada data : 10,73 juta ha (6 %)

Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut :
Hutan : 85,96 juta ha (64 %)
Non hutan : 39,09 juta ha (29 %)
Tidak ada data : 8,52 juta ha (7 %)
Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan akan lahan untuk kegiatan pembangunan, Departemen Kehutanan telah mengalokasikan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Untuk tahun 2004, di seluruh Indonesia tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan budidaya non kehutanan, yaitu sektor pertanian/perkebunan dan transmigrasi.

2.2.2. Keanekaragaman Hayati
Dalam rangka memelihara keutuhan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya telah dan sedang dilakukan upaya antara lain sebagai berikut :
1) Menunjuk, menata dan mengelola kawasan-kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru, taman nasional dan taman hutan raya. Sampai dengan saat ini, sudah terdapat 24 taman nasional di Indonesia. Kawasan suaka alam tersebut telah dipilih sedemikian rupa sehingga 70 tipe ekosistem yang terdapai di tanah air terwakili dan aman. Habitat dari binatang endemik telah mendapat prioritas untuk dilindungi.
2) Melindungi satwa dan tumbuhan langka Indonesia dengan Undang-undang sehingga satwa/tumbuhan tersebut tidak boleh dipanen atau diperdagangkan. Terdapat lebih dari 750 jenis binatang menyusui (mamalia),1.250 jenis burung, 600 jenis binatang melata dan amphibia, 9.000 jenis ikan, 12.000 serangga /Arthopoda dan 25.000 – 30.000 jenis tumbuhan berbiji. Banyak diantara jenis tersebut di atas telah dilindungi oleh Pemerintah yaitu : 100 jenis binatang 8 menyusui, 372 jenis burung, 28 jenis binatang melata/amphibia, 6 jenis ikan, 20 jenis serangga dan 38 jenis tumbuhan berbiji.
3) Memelihara komitmen Indonesia terhadap Convention on International Trade, on Endangered Species of Flora and Fauna (CITES). Indonesia adalah salah, satu negara yang meratifikasi CITES. Selain itu Indonesia juga meratifikasi konvensi yang meng¬atur perlindungan binatang yang hidup di lahan basah (Wetland) seperti burung migran, ikan, penyu, buaya dan lain-lain.
4) Mengupayakan pengurangan tekanan terhadap kawasan konservasi melalui : .
a) pengembangan/pengelolaan “bufferzone”
b) pengalihan/peningkatan pemanfaatan wisata alam
5) Peningkatan peran serta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam terutama melalui pendidikan kader konservasi, pramuka dan lembaga swadaya masyarakat sekitar hutan.
6) Mengintegrasikan usaha konservasi keanekaragaman hayati pada semua kawasan hutan termasuk hutan produksi melalui :
a) menyisihkan tegakan benih (Seedstand) di dalam areal HPH, yaitu 100 hektar setiap rencana karya lima tahunan (RKL) yang sekaligus dapat berfungsi sebagai kantong-kantong konservasi.
b) memberlakukan jalur selebar 500 – 1.000 meter sepanjang perbatasan HPH dengan kawasan konservasi sebagai zona penyangga (buffer-zone).
c) menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap HPH, HTI dan pembangunan kehutanan lainnya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986.
7) Membuat peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya untuk diimplementasikan di lapangan.

Pustaka
Irwanto , 2006, Artikel , penerapan AMDAL di bidang kehutanan, dikutip dari http://avg.urlseek.vmn.net/search.php. diakses pada tanggal 17 maret 2006 pukul 22.30
Otto soemarwoto , 1987 , Analisis Mengenai Dampak Lingkungan , Bandung

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar